Kamis, 29 Desember 2011

Christmas Jayapura Market Mama's

spanduk natal mama - mama


Shalom....

Our best regards to all of those present here:

1. The Governor of the Province of Papua, or their representative
2. The Head of the Department of Industry, Trade, Cooperatives and Small and Medium Enterprises of the Province of Papua, or their representative
3. The municipal authorities of the City of Jayapura, or their representatives
4. Those united in Solidarity for Indigenous Papuan Traders (Solidaritas Pedagang Asli Papua, SOLPAP), or their representatives
5. The guests of local NGOs in Jayapura who continue to support the indigenous Papuan market-women’s cause 
6. Trustees, advisors and the managers of the Cooperative of Indigenous Papuan Market-women, or their representatives
7. The indigenous Papuan market-women (the ‘mama-mama’) from within and around ‘Pasar Sementara’ 
8. Street children, parking attendants and the labourers around the port, both visitors and guests of the urban poor within and around the marketplace
9. The beloved audience we have invited here today

As firm believers, we praise the Almighty God and give our thanks for it is his will that we can all be present here today to celebrate Christmas with the mama-mama. This Christmas marks the first for those indigenous Papuan traders at Pasar Sementara (Jl. Percetakan, No. 5A), which was officially opened on 20 December 2010 and has been fully operative since 7 March 2011. 

The Christmas committee was formed on 3 December 2011. Since 5 December, the market-women started to raise funds independently and by 16 December had collected Rp. 12, 957,000. The personal contribution from the market-women of Pasar Sementara and the surroundings was Rp. 9, 357,000 and contributions from related parties came to Rp. 3,600,000. Given the difficult economic situation for the market-women, donations are very limited. However, this is a month of joy that must be celebrated alongside the urban poor both in and around the market. With our shared commitment, we started to collect donations and now carry out celebrations, by the grace of Jesus Christ, the son of Christmas who came into the world as mankind’s saviour. 

The committee adopted a central theme: “A nation in darkness already sees a great light” (Isaiah Section 9: Verse 1a), and a sub-theme: In the spirit of Christmas 2011 “Papuan market-women are ready to become the light unto the world and for others”. The mama-mama will never stop fighting for a permanent market –place specially for indigenous Papuan traders until that has been attained. 

The mama-mama will continue their struggle since our rights are enshrined in the 1948 Universal Declaration of Human Rights (UNDHR) and the Convention to Eradicate all-forms of Discrimination Against Women (CEDAW) whereby the mama-mama will continue their struggle for their economic, social and cultural rights to be fulfilled as applicable by Law no. 7 of 1984 in Indonesian law. 

We can realise this if we all hold hands together and have a shared commitment to stop economic violence against Papuan women. In this respect, the mama-mama must be the light for humanity. 

Thank you, may Lord Jesus bless us all. 

As the representative of the indigenous market-women of Papua, I wish to celebrate a Happy Christmas for "25 December 2011 and Welcome the New Year on “01 January 2012".

Mama Magdalena Aninam (Head of the Christmas Committee for the Market-women of Papua)

Senin, 26 Desember 2011

Mama - mama pedagang protes pasar murah di Taman Imbi

pihak keamanaan menenangkan Mama -
Mama 

Pada 21 Desember 2011, aksi protes, 50 Mama – mama pedagang asli Papua yang berada di pasar sementara, dengan membawa kayu, berjalan kaki menuju taman imbi, keinginan mama – mama untuk memboongkar pasar murah yang sudah hampir 2 hari berlangsung, pasar murah ini dihuni oleh pedagang non – Papua yang berasal dari Koya, Distrik Muara Tami. Program ini dari Dinas Pertanian Provinsi Papua dan Dharma Wanita Kota Jayapura. Mama – mama meminta untuk tidak lagi berjualan, karena tuntutan mama – mama pada tanggal 25 November 2011, ditujukan kepada DPRP, jangan ada lagi pasar murah di kota Jayapura, selain pasar mama – mama, Jl. Percetakan.
aksi protes mama - mama pedagang asli Papua di Taman Imbi

‘’Hasil jualan kami tidak laku, karena kami juga membeli dari petani di Koya, petani yang sama, kenapa harus berjualan dekat dengan pasar mama – mama, hasil pendapatan kami menurun selama 2 hari ini, karena penjualan di sini lebih murah. Ini sudah mau natal, kenapa pemerintah juga memberikan kesempatan kepada pedagang non – Papua di dekat sini. Sudah ada 3 pasar menjelang natal, ekonomi mama – mama di pasar sementara menurun kalau seperti ini’’,ujar Jeni Madai, salah satu mama  yang protes.

Aparat Keamanaan pun datang dan mengambil beberapa kayu yang dipegang oleh mama – mama, Aparat meminta untuk tidak merusak dan membongkar jualan, karena ini termasuk tindakan melawan hukum. Merusak barang milik orang lain. Namun mama – mama tetap berteriak dan meminta untuk besok tidak ada lagi pasar murah di Taman Imbi, kalau sampai ada, kami akan bongkar dan merusak barang – barang jualan yang ada.

Setelah mama – mama menyampaikan aspirasinya, mama – mama langusng kembali ke tempat jualan di Pasar Sementara. Tindakan ini tidak seharusnya terjadi, masa ada pasar murah yang dekat dengan pasar mama – mama, ini konflik horizontal yang sengaja diciptakan oleh pemerintah. Pemerintah harus memberikan ruang untuk mama – mama berdagang di tanahnya sendiri, apalagi mau menjelang natal, ya jelas konsumen akan mencari barang yang lebih murah. Kita akan coba bangun dialog dengan Pemerintah,sehingga konflik ini tidak terulang lagi tahun depan. Tahun kemarin juga hal yang sama, mama – mama berjualan di Depan Gelael, ada pasar murah di Taman Imbi,’ ujar Robert Jitmau, Ketua Kommpap.

Minggu, 25 Desember 2011

Pelatihan Perkoperasian untuk anggota Kommpap

Pada hari Kamis, 15 Desember 2011, Mama – mama pedagang asli Papua yang merupakan anggota Koperasi mama – mama pedagang asli Papua(KOMMPAP) mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan,Koperasi dan Usaha Kecil Menengah(Disperindangkop). Pelatihan ini sebagai tindak lanjut program dari Gubernur Provinsi Papua tahun angggaran 2011. Pelatihan Perkoperasian ini dikhususkan bagi 120 anggota Kommpap, yang sejak tanggal 20 Desember 2010, di dirikan bersamaan dengan peresmian pasar sementara.

Pelatihan ini dibuka oleh Asisten Bidang Pembangunan dan Ekonomi setda Provinsi Papua, Drs. Elia Ibarahim Loupatty yang mewakili Gubernur Provinsi Papua pada pembukaan di Balai Pelatihan Koperasi (Balatkop) Angkasa, Jayapura. Mama – mama pedagang asli Papua adalah pekerja keras, karena mereka penentu ekonomi keluarga. Mama – mama berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi di Jayapura’’,ujar Elia.

Materi mengenai sejarah koperasi
Elia juga mengatakan ‘’Para pengajar harus pelan - pelan memberikan teori bagi mama – mama. Karena dari batas kemampuan, mama – mama lebih senang dengan teori mendengar dan melihat. sehingga ketika keluar dari tempat pelatihan ada manfaat. Pelatihan ini agar mama – mama lebih meningkatkan usaha, minimal pertahankan usaha, dan mengelola modal usaha yang sudah dihimpun bersama. Hasil usaha yang minim, tidak perlu rendah diri, bekerja dengan nurani dan hasil keringat sendiri, bekerja keras dengan hati yang baik demi keluarga. Saya sangat berharap mama – mama harus terus maju dan merasa bangga bagi orang asli Papua yang terlibat dalam perdagangan. Harus bangga karena tidak semua orang asli Papua bisa berdagang’’,ujarnya.  

Pelatihan ini akan berlangsung selama 4 hari, dan akan ditutup pada hari Senin, 19 Desember 2011, tujuan dari kegiatan ini untuk meningkatkan kemampuan teknis para anggota koperasi tentang pengetahuan perkoperasian dan kewirausahaan, meningkatkan motivasi dan inovasi dalam mengembangkan serta meningkatkan kualitas usaha masing – masing ‘’, ujar Drs. Kaleb Worembay, MM, Kepala Disperindangkop.

Pelatihan ini sangat baik bagi, terutama mama – mama bisa mengetahui bahwa dana Rp.600.000.000, itu adalah dana simpan – pinjam yang harus dikembalikan. Kami juga mengetahui bagaimana melakukan pinjaman ke Bank, dan harus memiliki sikap sabar dan rendah hati untuk berjualan dan bersaing’’,ujar mama Yuliana. 

Minggu, 11 Desember 2011

Memorialisasi Filep Karma pada peringatan HAM

Salah satu mama di Pasar

Beberapa foto dari tahanan Politik Papua, Filep Karma yang diberikan hukuman 15 tahun penjara oleh pemerintah Indonesia, juga tampil di kegiatan pameran foto pada peringatan hari hak asasi manusia di Pasar Mama – mama, Jayapura. Maria Tabuni, salah satu mama penjual buah memberikan komentar ‘’aduh, saya pikir Bapa ini sudah bebas, ternyata masih di penjara, coba pemerintah bebaskan dia ka?’’, ujarnya.
Salah satu pembeli yang melihat foto Filep Karma bersama ibu kandungnya
foto kampanye Amensty international USA
Foto kampanye yang dilakukan oleh Amensty International, juga tampil di pameran ini, banyak masyarakat klas bawah yang tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh NGO International untuk pembebasan tahanan Politik Papua, Filep Karma.
Video Amensty International
Filep Karma, saat ini sudah 7 tahun di Penjara, dia menolak remisi yang diberikan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini. Karena menurutnya, dia tidak melakukan kesalahan apa pun atau bertindak secara kekerasan. Filep Karma, dijatuhi hukuman pada tahun 2005, dengan kasus mengangkat bendera Bintang Kejora, di lapangan Trikora, Abepura, pada tanggal 1 Desember 2004. Beberapa selebaran dari Filep Karma juga tersebar , mengenai seruan penolakan bagi rakyat Papua untuk menolak pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur Papua tahun depan. Satu point seruan yang berhubungan dengan mama – mama adalah, selama diberikan dana otonomi khusus, Pemerintah Papua tidak mampu membangun pasar khusus bagi pedagang asli Papua. Dalam pembangunan ekonomi saja sudah gagal, selama 10 tahun berjalan.
Video cuplikan pendek dari Voa Indonesia dan Video Kampanye Amensty International, juga tampil di hari hak asasi manusia. Diana Gebze, yang mewakili Mahasiswa mengatakan ‘’Filep Karma adalah pejuang hak asasi manusia, dia berjuang secara damai, dan tidak menggunakan kekerasan, tapi karena mengangkat bendera Bintang Kejora bagi pemerintah Indonesia adalah unsur makar, dengan ditetapkan peraturan pemerintah no, 77, sehingga Dia dberikan hukuman 15 tahun penjara. Pemerintah Indonesia harus membebaskan Filep Karma, tanpa syarat.’’,ujarnya.

Nonton Video Papuan Voices di Pasar

Beberapa video yang dibuat oleh kelompok aktivis Papua , yang memiliki nama Papuan Voices, juga memeriahkan hari hak asasi manusia di Pasar sementara mama – mama pedagang asli Papua di Jayapura. Video yang tampilkan mulai dari Mama punya cerita, Irronic Survival, Kelapa berbuah Jerigen, dan Surat sang Prada yang dibuat oleh tim Papuan Voices Merauke. Video pendek ini menambah pengetahuan bagi mama – mama, apa yang terjadi di Merauke.

‘’Mama – mama di Merauke juga sedang berjuang untuk dapat tempat yang layak di Merauke, Mahasiswa di Merauke harus mendampingi mama – mama untuk perjuangan pasar khusus juga ada di Merauke, sama halnya apa yang dilakukan di Jayapura.’’, ujar Jeni Madai,salah satu mama – mama penjual sayur di pasar sementara.  

Video pendek lainnya yang dibuat oleh tim Papuan Voices Jayapura juga ditampilkan, Mama Kasmira Pu mau, yang menceritakan tentang perjuangan perempuan di daerah investasi kelapa sawit. ‘’Perempuan disana harus memilih bekerja di perusahaan, yang penting dapat uang untuk makan hari ini, juga untuk anak sekolah, Perempuan akan terus berjuang untuk kesejahteraan hidup rumah tangga’’, ujar mama Yakoba Adii.

Awin Meke, salah video bercerita tentang mama – mama di pasar Jayapura, mulai dari perjuangan mama – mama hingga sekarang. ‘’ video pendek ini, perlu di sebarluaskan lagi di mama – mama pedagang asli Papua di kabupaten lainnya,  sehingga perjuangan mama – mama bisa menjadi dasar perjuangan untuk pasar khusus yang berada di daerah lainnya, bisa juga menjadi masukan bagi pemerintah, bahwa pedagang non – Papua sudah memenuhi hak ekonomi di Papua, sehingga orang asli Papua juga diberikan kesempatan untuk bersaing’’, ujar Gerda Rumbiak, salah satu pembeli.

Diakhir pemutaran video, ditampilkan video surat cinta kepada sang prada, suasana menjadi hening. Penonton mencermati apa yang dilihat. ‘’sedih sekali video pendek ini, diharapkan papa dari Yani bisa melihat anaknya yang sekarang umur 3 tahun’’, ujar Jacklyn, salah satu penonton. 

Hentikan Kekerasan Ekonomi terhadap Perempuan Papua

Hari Hak Asasi Manusia se-dunia, diperingati oleh mama – mama pedagang asli Papua di Pasar Jayapura. Kegiatan ini berupa Pameran Foto, Nonton Video, Musik dan Dansa, terakhir mama – mama mempersembahkan lagu waita di akhir penutupan kegiatan ini. Beberapa foto yang tampil di Pasar terdiri dari foto – foto perjuangan mama – mama, foto – foto korban pelanggaran Ham di Papua, tragedi Biak berdarah 1998, Kasus Wasior 2003, Tragedi Abepura 2000, dan Foto – foto dari Filep Karma, Tahanan Politik Papua yang dihukum 15 tahun Penjara. Untuk beberapa video yang tampil, 5 video yang dibuat oleh kelompok aktivis Papuan Voices yang berada di Jayapura dan Merauke, cuplikan video Voa Indonesia dan Amensty International mengenai kampanye pembebasan tanpa syarat Filep Karma dan Video mengenai kasus Abepura,2000.

‘’Kegiatan ini lebih dikhususkan untuk penyadaran kaum miskin kota, mengenai perjuangan mama – mama dan beberapa foto – foto korban yang tidak pernah selesai dituntut pelaku yang melakukan pelanggaran Ham di Papua’’ ujar Robert Jitmau, ketua koperasi mama – mama pedagang asli Papua(Kommpap).

Kegiatan ini juga di dukung oleh Komunitas Rasta Kribo, Ab’Radio, Kawan – kawan dari Bersatu untuk kebenaran(BUK), Kawan – Kawan dari Lembaga Pengkajian pemberdayaan perempuan dan anak Papua (LP3A), Pt. Harapan anak Papua di Indonesia (Hapin), Kawan – Kawan Desk Perempuan Lembaga studi dan advokasi hak asasi manusia (Elsham) di Papua, Kawan – kawan Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda Papua), Kawan – kawan Front Nasional Mahasiswa dan Pemuda di Papua (FNMPP).

‘’Nonton film begini, sangat baik, kami juga bisa menambah pengetahuan, karena kami duduk dari pasar mulai pagi sampai malam hari, kami sudah tidak punya waktu lagi untuk menonton atau membaca berita, saya melihat foto – foto korban pelanggaran HAM saja, hanya bisa mengelus dada,  kami hanya tau cari uang untuk bisa makan hari ini, ujar mama Selfiana Wondiwoi, salah satu mama penjual sagu mentah.


Rabu, 07 Desember 2011

MAMA PUNYA CERITA (MAMA'S STORY)

Papuan women market traders in Merauke find it tough to sell their goods. Their trading space is small, dusty and often they have to share with minibus parking. The Papuan women, or often called 'mama-mama', also have work hard to reach the market place as there are only limited public transportation system that pass by their home.


<iframe src='http://www.engagemedia.org/Members/papuanvoicesmerauke/videos/mama_pu_cerita.m4v/embed_view' frameborder='0' width='400' height='300'></iframe>



informasi video
diproduksi olehPapuan Voices [Merauke]
diarahkan olehIke Weller & Yully
diproduksiNov 30, 2011

SAVING THE PINANG CULTURE

Chewing 'pinang', or betel nut, is an integral part of the Papuan tradition. People eat pinang as a social tool. It is believed to be a good medicine for healthy teeth. However, people often spit out pinang anywhere, and signs the prohibit people from eating and spitting out pinang are being put everywhere now. This film though urges people to maintain the culture but by also spitting out pinang in the appropriate places.


<iframe src='http://www.engagemedia.org/Members/papuanvoicesjayapura/videos/pinang/embed_view' frameborder='0' width='400' height='300'></iframe>

Selasa, 06 Desember 2011

The mama-mama’s temporary market, whose responsibility is it?

Indigenous market-women (mama-mama) are the economic backbone of Papuan society. On December 20th 2010, the Provincial government of Papua presented them with a temporary market, a truck, a deed (akta notaris), and donated Rp. 600.000.000 towards Kommpap, the Indigenous Market-Women’s Cooperative. The donations from the Provincial Government represent a small victory for the mama-mama’s struggle for a permanent market-place in the centre of Jayapura. Every morning, these women wake up at 5am and go to Youtefa market on Jalan Baru which serves as a cross-roads for goods coming in from Arso, Sentani and outside of Jayapura. Here, they face non-Papuan (migrant) wholesalers, or middlemen, who sell them goods which are expensive for the mama-mama. Now, with this temporary market, a number of market-women are able to sell shallots, garlic, chicken, cooking oil and grated coconut. With credit from Kommpap, the mama-mama are able to buy more goods.. 

However, in almost eight months of running the market, there has been no supervision from the government. The Provincial Government of Papua gave responsibility to Jayapura’s municipal authorities to run the market. Yet, there hasn’t been a single person from Jayapura’s government to attend the market and support the mama-mama. For example, electricity bills and water bills are not paid, waste isn’t collected and there is no security organised. The situation for the mama-mama is like ping-pong, they are thrown responsibility for the market they themselves occupy. The slogan ‘Affirmative Action’ that is constantly being used by the Provincial Government of Papua to support indigenous Papuans is meaningless for the mama-mama. 

Yakoba Adii (58) says, “we were given a market, that’s it, but who will organise us all? What’s the government going to do about the market next door at Mesran terminal which is run by non-Papuans. There are two markets in Jayapura now, the government should close the market at the terminal over there because it will destroy the economic prospects for the women who sell at this market.” The market at Terminal Mesran is occupied by non-Papuan traders who were relocated from Ampera market. According to the agreement made at the DPRP on February 1 2011, attended by the DPRP, the 2nd Assistant of Jayapura, the Office of Peace and Order and market-women representatives, the traders at Mesran are only permitted to sell cassettes and clothes, not basic goods such as food which the mama-mama are permitted to sell. However, although basic goods are permitted at the temporary market, non-Papuans have also started to selling these items. 

The mama-mama are still waiting for a meeting with the former Governor of Papua, Barnabas Suebu, who on September 14 2009 said to some representative market-women at a protest, “my words are the law, a permanent market will be built in 2010 in Jayapura.” The former governor would rather deposit Special Autonomy funds valued at Rp. 2.35 and build a right road rather than build a market for indigenous Papuans.

The presence of a market for Papuans would symbolise how indigenous Papuan traders have been given the opportunity to improve their family’s economic standing independently. Investment in Jayapura has already increased with more shops and malls but economic development has been achieved without the productive power of indigenous Papuans. Papuans will become completely marginalised if they are not trusted to build the economy for themselves. There needs to be a special market in every kabupaten in Papua so that this feeling of being “special” can be harnessed by Papuans to build and manage their own economy.
Cyntia Warwe/Translate : Sophie Croker

Pernyataan Sikap Perempuan Mahardhika




Mendukung Penuh Perjuangan Mama-Mama dan Kaum Perempuan Lainnya di Tanah Papua :

Hentikan Diskriminasi terhadap warga asli Papua! Berikan pasar permanen yang nyaman dan strategis bagi perekonomian mama-mama pegadang asli Papua!

Salam Kesetaraan,

Saat melihat jejaring sosial, ada yang membuat kami bangga ditengah respon 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kaum Perempuan Papua kembali berani bersuara, melakukan metode aksi turun kejalan disaat situasi politik Papua sedang kembali bergerak. Kami dari Perempuan Mahardhika mengapresi dan mendukung sepenuh-penuhnya perjuangan Mama-Mama pedagang asli Papua yang sedang menuntut hak ekonomi mereka agar bisa berdagang hasil bumi mereka dengan nyaman untuk bertahan hidup.

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Papua memiliki sumber alam yang melimpah namun hasil bumi sebagai lahan utama perekonomian warga asli Papua sedikit dinikmati mereka. Lihat saja Freeport yang sudah 44 tahun bercokol di Tanah Papua, warga asli hanya dijadikan buruh rendahan yang dibayar dengan upah murah. Mereka tidak diajarkan bagaimana mengelola gunung emas yang bisa menghasilkan keuntungan Rp. 114 milyard per hari atau sekitar Rp 41,04 Trilyun per tahun. Hal serupa terjadi  di sektor dagang, warga asli Papua mengalami penyingkiran akses ekonomi untuk berdagang. Pasar permanen yang dijanjikan pemerintah setempat tak kunjung datang. Sebagai gantinya mama-mama hanya diberikan dulu pasar sementara. Namun selama berjalan 1 tahun ini,  sangat sulit pedagang asli Papua mengakses fasilitas, baik dalam hal air bersih, wc, listrik (dengan pembayaran yang tak jelas), dan lapangan parkir. Bahkan mereka harus bersaing lagi dengan pasar penyangga yang ada di terminal Mesran.

Kami sangat menyesalkan tindakan pemerintah yang terus mendiskriminasikan warga asli papua dalam mengakses saranan fasilitas pasar yang bila tak segera dihentikan dapat memicu konflik etnis dan rasial di Papua. Bahwa pada prinsipnya, tidak boleh adanya pembedaan akses terhadap warga asli dengan pendatang itu benar, seperti termaktub dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-undang no.7 tahun 1984, Indonesia seharusnya melindungi hak asasi setiap warga negaranya tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama, dan orientasi seksualnya. Namun, agar tidak menjadi tataran teori dan Undang-Undang saja, kita memang harus melihat kembali sejarah Papua. Selain pengabaian hak ekonomi politik,  ternyata penindasan ras masih terjadi secara sistematis terhadap mereka, warga asli Papua.

Oleh karenanya, kami mendukung perjuangan mama-mama pedagang pasar untuk juga mendapat hak ekonomi dan akses faslitas pasar yang sama bagi warga non-papua, kami meyerukan:
1.      Hentikan Diskriminasi terhadap warga asli Papua!
2.      Berikan pasar permanen yang nyaman dan strategis bagi perekonomian mama-mama pegadang asli Papua!
3.      Hentikan pembangunan mal-mal tanpa konsultasi dengan rakyat setempat!
4.      Penuhi hak-hak ekonomi, sosial budaya dan sipil politik perempuan Papua dan rakyat Papua pada umumnya, agar dapat dengan setara mengelola sumber-sumber kekayaan alamnya secara adil bagi kebaikan seluruh rakyat dan bumi tempat hidupnya!

Sekian
Hidup Perempuan Papua!

Building Economic Sovereignty of Papuan People

Press Release: Indigenous Papuan Market-women

Long live Papuans….Long live Papuan Women….Long live the City’s poor

Papua is rich in natural resources, but it’s not the indigenous Papuans that own them. This is evident in the economic development of Papua, especially in Jayapura, the capital city where many kiosks, shops and malls are not owned by us who own this land. The reality is, indigenous Papuan market-women have been suffering for a long time. They have been marginalised by powerful capitalists in the heart of Jayapura. The government just closes their eyes and does not see us, the indigenous people. Instead, the government prioritises the interests of those with capital and who are wealthy to grant economic rights in this land. The permanent market-place which the government promised [the market-women] is still unclear. It’s been almost a year since the temporary market was opened but the market-women still feel let down since there are still 2 other markets in this city. 

There was an agreement at the meeting on February 1st 2011 between the mama-mama, Commission D of the DPRD and the Jayapura municipal authorities that the market at Terminal Mesran would only sell manufactured goods (VCDs and clothes), whereas fresh agricultural goods would only be sold by indigenous market-women at the Temporary Market on Jalan Percetakan. However, this is not the case. The market at Terminal Mesran also sells agricultural goods and the mama-mama feel the financial loss since it has resulted in a decrease in consumers at the Temporary Market. 

The additional Rp. 600,000 in the form of loans from the indigenous market-women’s cooperative, set up as a result of the mama-mama’s lobbying, cannot be paid back since the mama-mama have been making a loss over the past year. In addition, it remains unclear whose responsibility the Temporary Market is. The provincial and the municipal governments cast the responsibility of electricity, water and waste management provision on each other. It’s totally chaotic and unregulated. 

With the level of economic violence against women in Papua increasing, the indigenous market-women have joined STOP SUDAH (Stop Already), a coalition against the violence and discrimination against women and children in Papua and have urged the government to:

1. Build a permanent market-place in Jayapura for indigenous Papuan traders.

2. Stop prosecuting and displacing women selling pinang on Jalan Irian until a permanent market-place has been built.

3. Immediately close the market at Mesran and to relocate traders.

4. Close the Pasar Murah in Jayapura.

5. Take strong action against those who sell vegetables and fresh fish using motorised vehicles.

6. Prohibit those who own shopping malls from selling fresh produce.

7. Prohibit non-Papuans from selling pinang and sagu in Papua.

8. Prohibit the building of shops and malls in Jayapura.

9. Immediately build markets for indigenous Papuan traders in every Kabupaten in Papua. 

Herewith is the position of indigenous Papuan market-women in order for the Papuan people to have economic sovereignty in this land rather than investors. 

Port Numbay, 25 November 2011

Vegetable Traders : Yuliana Pigai
Fruit Traders : MariaTabuni
Spices Traders : Esterfinah Antoh
Sagu Traders : Selfiana Wondiwoi
Pinang Traders : Kathrina Tekege
Smoked Fish Traders : Yusthea Waromi
Raw Fish Traders : Yokbet Yowei
Bread Traders : Anne Imbiri
Grated Coconut Traders  : Pitersina Makamur
Chicken Traders : Yohana Yumame
Street Food : Miryam Awarawi
Pinang Traders of Jalan Irian : Martina Sawen

Translate : Sophie Croker

Naina : usaha hasil kebun,anak bisa sarjana

Mama Naina Tabuni, sekarang umurnya 49 tahun. Dia berasal dari daerah Tagime Wamena Barat. Saat berumur 13 tahun, dia menikah dengan Yenis Yikwa di Wamena Barat. Naina mempunyai empat orang anak dari hasil pernikahannya, yang pertama bernama Jacklyn Jikwa yang saat ini sudah mendapat gelar sarjana  di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) dalam bidang Ilmu Pemerintahan. Kedua , Fransina Yikwa yang sudah selesai menempuh pendidikan di SMU, namun belum melanjutkan kuliah. Ketiga, Yeremias Yikwa yang saat ini masih duduk di bangku SMU kelas 2, dan yang terakhir Jerlina Yikwa  masih menempuh pendidikan di bangku SMP kelas 1. Naina mempunyai dua orang cucu yang bernama Evod Owen Gimendek Togodly saat ini berumur 4 tahun dan Laudikia Eren Togodly berumur 2 tahun, dari hasil pernikahan anak perempuannya yang pertama. Masa pendidikannya, terakhir hanya sampai kelas 3 tingkat sekolah dasar saja. 

Pada tahun 1984, saat jacklyn berusia 1 bulan, suaminya ke Jayapura dan hidup terpisah dari mereka. Naina memutuskan untuk mencari biaya kebutuhan hidup di Daerah Wamena Kota, karena dia harus berjuang untuk merawat anaknya sendiri. Pada akhirnya dia juga melakukan perjalanan ke Jayapura pada tahun 1988 dan membawa Jacklyn yang saat itu berusia 4 tahun. Untuk memenuhi kebutuhan makan dan biaya sekolah anak pertamanya, ia berusaha menjual hasil kebun. Pertama kali, dia memulai usahanya di Pasar Ampera dalam Jayapura. Dengan pengetahuan menghitung yang kurang, Naina melakukan cara yang sederhana untuk menghitung pendapatannya tiap hari.  Misalkan dia membeli keladi dan petatas dengan harga Rp. 80.000/karung di Pasar Youtefa. Kalau pendapatannya 150.000/hari, dia perkirakan keuntungan yang didapatkan adalah 70.000/hari. Dengan penghasilan yang rendah dia berusaha untuk membiayai kebutuhan sekolah anaknya.

Tahun 2002, Naina dan mama – mama lainnya harus berhadapan dengan trantib kota Jayapura. ‘’kami yang jualan, disemprot air pemadam kebakaran, banyak polisi dan TNI yang angkat kami punya jualan dan meminta kami untuk pindah,’’ ujarnya.  Selama berjualan di Pasar Ampera, Naina dan mama – mama pedagang asli Papua yang lain mengalami penggusuran saat pasar Ampera dalam dan luar ditutup oleh Pemerintah Walikota Jayapura. ‘’Kami dipindahkan ke ruko Pasifik Jayapura saat Pasar Youtefa di Kotaraja dibangun oleh pemeritah Walikota pada tahun 2004’’ ujar Naina. Saat pasar Youtefa sudah dibangun, mama – mama yang jualan di ruko di Paksa pindah oleh Trantib kota Jayapura ke Pasar Youtefa. Dengan keluarnya surat Instruksi Walikota No.1 tahun 2004 tentang penertiban dan penutupan pasar Inpres Abepura dan tempat usaha sementara pedagang kaki lima di Lokasi Reklamasi Jayapura Pasifik Permai.  ‘’mama – mama tidak mau jualan di Pasar Youtefa karena sudah dikuasai oleh pendatang yang banyak mengambil tempat disana dan jaraknya yang jauh antara rumah dan tempat jualan,’’ ujarnya.

Naina dan mama – mama tetap berjualan di depan Gelael. Naina juga terlibat dengan front Solidaritas mama – mama pedagang Asli Papua (SOLPAP), yang dibentuk pada 25 Januari 2007. Solpap adalah tim advokasi yang terdiri dari LSM, Tokoh Agama , dan organ – organ gerakan pemuda serta aktivis mahasiswa di Jayapura yang melakukan pendampingan terhadap mama – mama untuk akses kepada pemerintah Provinsi dan Walikota dalam memperjuangkan pasar khusus orang asli Papua.  

Pekerjaan suaminya selama di Jayapura adalah peternak Babi, ini usaha sampingan yang dijalankan oleh keluarga agar dapat biaya tambahan untuk kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan menjual hasil ternak, keluarga bisa membangun rumah sendiri secara bertahap. Pertama kali menjalankan usaha ternak babi, modal awal yang dibutuhkan adalah Rp.500.000 untuk membeli anak babi. Dalam kehidupan sehari – hari, setiap pukul 05.00 pagi, aktivitasnya ke kebun untuk memetik hasil  yang ditanam, seperti;  pisang, nangka, keladi, dan petatas agar bisa dijual di pasar. Kalau belum panen, dia memilih untuk membeli di pasar Youtefa.

Saat Jacklyn tamat SMU, dia berusaha untuk tetap menjadi tulang punggung dari keluarga agar anak perempuannya bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Dengan biaya kuliah, Rp.1.500.000/Semester dan biaya transportasi Rp. 20.000/hari, dia berusaha untuk menyimpan hasil penjualan tiap hari dirumah, karena selama menjalankan usaha dia tidak pernah menyimpan uang di Bank. Dengan perjuangannya selama ini, dia bisa melihatnya anaknya wisuda pada tanggal 12 Maret tahun ini. Harapan ke depan untuk anaknya agar dapat membantu orang tua membiayai adik – adiknya sekolah kemudian mempraktekkan ilmu yang telah didapatkan di kampus untuk membantu masyarakat Papua yang paling terutama membantu kelompok mama – mama pedagang asli Papua.     

Selama menjalankan usaha ekonomi yang sederhana, dia tidak pernah mengikuti koperasi yang dapat memberikan pinjaman modal usaha baginya. Karena bunga pinjaman yang diberikan terlalu tinggi. Saat ini dengan adanya pasar sementara yang dibangun oleh pemerintah Provinsi Papua yang diresmikan pada tanggal 20 Desember 2010, dia mempunyai harapan agar dirinya dan mama – mama yang lain mampu bersaing dengan orang non – Papua, karena adanya pasar ini adalah hasil perjuangan mama – mama yang sudah berjalan 9 tahun. Dia bangga ada juga koperasi mama – mama pedagang asli Papua (KOMMPAP) yang diberikan Gubernur Provinsi Papua saat peresmian pasar sementara. ‘’saya memiliki harapan agar koperasi ini bisa memberikan bunga yang rendah bagi mama – mama. Dengan adanya koperasi ini juga bisa memberikan pembelajaran bagaimana mengatur biaya kebutuhan rumah tangga. Karena selama saya jualan, saya tidak pernah menabung, penghasilan yang selalu didapatkan dipakai habis.’’ujarnya.

Pasar yang ada saat ini bisa menjadi salah contoh , bahwa hanya ada orang asli Papua yang berjualan di satu tempat dan mama – mama bisa menjadi pedagang yang suskes, mandiri dan akan menjadi tulang punggung ekonomi Rakyat Papua.


Tawaran bunga kredit rendah untuk mama - mama pedagang asli Papua

Koperasi mama – mama pedagang asli Papua (KOMMPAP) adalah salah satu perjuangan rakyat Papua untuk mengubah kebijakan pemerintah untuk memperhatikan tenaga produktif orang asli Papua. Membangun kemandirian ekonomi bagi rakyat Papua adalah tugas mendesak yang harus dilakukan saat ini. Mama – mama yang sudah lama berjualan di kota Jayapura, terhimpit dengan ekonomi keluarga yang meningkat. Sampai saat ini mama – mama berhadapan dengan tengkulak atau reintenir yang memanfaatkan keuntungan dengan modal peminjaman yang skala Rp. 500.000 – 1.000.000 dengan bunga pinjaman yang tinggi dalam sebulan. Misalkan mama – mama pinjam Rp.500.000, mama tidak mendapatkan pinjamannya utuh, dipotong administrasi, jadi diterima Rp. 400.000. Dalam sebulan mama – mama mengembalikan setoran pinjaman Rp. 600.000, berarti bunga pinjaman 20% dalam sebulan. Setoran perhari yang dikenakan Rp. 20.000. ini contoh penjajahan ekonomi yang dihadapi oleh mama – mama pedagang asli Papua. Mama menguntungkan oknum yang menguras hingga Rp.300.000/bulan.

KOMMPAP, memberikan penawaran bunga yang rendah bagi mama – mama pedagang asli Papua. Bunga yang diberikan adalah 1,5 % per bulan dengan pengembalian waktu 6 bulan. Misalkan ; mama meminjam uang sebesar Rp. 3.000.000, bunga pinjaman sebesar Rp. 270.000 selama 6 bulan. Kesediaan dari mama – mama ingin setoran per hari,per minggu,dan perbulan. Kommpap mencairkan dana kredit dengan total Rp. 400.000.000 Juta terlebih dahulu. Sampai 16 Juni 2011, sudah 186 mama – mama pedagang asli Papua yang berada dalam Pasar Sementara dilayani dengan modal Rp. 296.000.000 juta yang sudah diberikan sebagai modal pinjaman.dengan bantuan ini, Mama - mama Pitersina Jitmau, bisa membeli mesin parut kelapa untuk menghidupi ekonomi keluarga dan Mama Esterfinah Antoh bisa membeli 1 Drum Minyak kelapa agar perputaran modal ekonomi bisa berjalan. kedua mama - mama ini salah satu contoh bahwa mama - mama pedagang asli Papua ingin maju sama seperti Pedagang Non Papua, kendala mereka adalah tidak ada bantuan modal selama ini dari Pemerintah.
Dana kredit diberikan berdasarkan golongan penjualan, untuk awalnya pinjaman tidak diberikan lebih dari Rp. 5.000.000. batas pinjaman dengan nominal Rp. 3.000.000. untuk kelompok Ikan Asar diberikan modal Rp. 3.000.000. Kelompok Sayuran,Buah – buahan, dan campuran diberikan modal Rp. 2.000.000. Kelompok Pinang dan Sagu mentah diberikan modal Rp. 1.000.000 dan kelompok yang menjual hasil kebun Rp. 500.000. Kommpap mempioritaskan mama – mama yang berjualan di pasar sementara dan kemudian akan melayani mama – mama yang berjualan di Jalan Irian,depan Bank Papua,dan Jl. Percetakan. Cita – cita untuk membangun sebuah bangsa yang mandiri akan nampak kalau kekuatan ekonomi dan kesadaran rakyat papua saat ini untuk mengembangkan dan memajukan tenaga produktif orang asli Papua.

Mama – mama di pasar sementara mulai menabung

Bank Papua merupakan mitra kerja dari Koperasi mama – mama pedagang asli Papua(KOMMPAP), selama 3 minggu penyaluran kredit untuk mama – mama, Kommpap berpikir bagaimana setiap harinya mama – mama menyimpan sedikit dari kelebihan hasil keuntungan penjualan. TabunganKu adalah produk Tabungan yang tepat untuk pelajar, mahasiswa,pedagang sayuran,ikan,dan bahan makanan. Mama – mama hanya cukup dengan setoran awal Rp.20.000 dan melengkapi formulir aplikasi yang akan dibantu oleh petugas, membawa foto copy tanda pengenal yang masih berlaku, misalkan KTP. Fasilitas yang didapatkan mama – mama adalah mendapatkan buku tabungan dan kartu ATM, apabila mama – mama menghendaki untuk menggunakan kartu ATM.
Dalam tabunganKu, mama – mama tidak dikenakan biaya administrasi. Jika mama – mama rajin menabung. Kalau sampai 6 (enam) bulan mama – mama tidak menabung, akan dikenakan biaya administrasi bank. Setoran tabungan selanjutnya, minimal Rp. 10.000. Pada saat mama – mama ingin mengambil uang yang sudah ditabung, saldo terendah yang harus ada ditabungan, minimal Rp. 20.000.
Jika dalam seminggu , mama – mama rajin menabung dalam waktu 5 (lima hari), minimal dalam sebulan tabungan mama - mama adalah Rp.250.000. TabunganKu adalah awal yang baik bagi mama – mama pedagang asli Papua. Terutama kesulitan yang mereka hadapi, selama hampir 10 tahun berjualan, mereka tidak mempunyai tabungan ini khusus bagi kelompok mama – mama yang menjual sayuran,hasil kebun dan anyaman.  Ada sebagian mama – mama yang sudah mempunyai tabungan, namun mereka mengeluh karena hanya menabung Rp.100.000, setiap minggu, harus mengantri dengan waktu 1(satu) jam dan berada dengan nasabah yang mengambil uang dan menyimpan uang dalam jumlah yang besar. Ada rasa malu atau minder ke Bank karena hanya mempunyai uang yang kecil untuk ditabung.
Dengan adanya petugas yang turun di Pasar untuk melayani setoran dan penarikan tunai dari pukul 17.00 – 20.00, ini memudahkan mama – mama untuk tidak lagi mengantri di Bank dan memiliki rasa nyaman karena proses ini terjadi di Pasar mereka sendiri. Kommpap juga berpikir, jika mama – mama sudah mempunyai tabungan dan nomor rekening di Bank Papua, bantuan kredit bisa disalurkan melalui nomor rekening mama – mama sendiri.  

Sabtu, 03 Desember 2011

Press Release : Mama - mama pedagang asli Papua

BANGUN KEDAULATAN EKONOMI RAKYAT PAPUA

Hidup Rakyat Papua....Hidup Perempuan Papua...Hidup Kaum Miskin Kota

Papua kaya akan sumber daya alamnya, namun bukan rakyat asli Papua yang memilikinya. Dapat diihat dalam perkembangan Ekonomi di Papua terutama daerah Ibu Kota Jayapura, banyak toko,ruko,mall – mall, yang tidak dimiliki oleh kami yang mempunyai tanah ini. Kenyataan saat ini, penderitaan yang dialami oleh mama – mama pedagang asli Papua, sudah lama. Mama – mama semakin terpinggirkan oleh penghuni kekuasaan modal yang besar di Jantung Kota Jayapura. Pemerintah tutup mata tidak melihat kami, masyarakat pribumi. Pemerintah lebih mementingkan para pemilik modal yang punya uang banyak, untuk memiliki hak ekonomi di tanah ini. Pasar Permanen yang dijanjikan belum menjadi titik jelas sampai saat ini. Peresmian Pasar Sementara, hampir saja menginjak 1 tahun. Tapi mama – mama masih merasakan kerugian sepanjang hari, karena ada 2 pasar di kota ini.

Pertemuan pada tanggal 01 Febuari 2011, antara mama – mama dengan Komisi D (DPRP), Pemerintahan Kota, dengan hasil kesepakatan bersama bahwa Pasar yang berada di Terminal Mesran hanya bisa menjual barang- barang Manufaktur (VCD dan Pakaian), Barang – barang hasil bumi hanya dijual oleh mama – mama pedagang asli Papua yang berada di Pasar Sementara, Jl. Percetakan. Namun, kondisi yang terjadi tidak seperti yang dibayangkan, Pasar di terminal Mesran juga menjual barang hasil bumi. Mama mengalami kerugian yang berkepanjangan, akibatnya menurun minat pembeli di pasar Sementara.

Tambahan modal yang diberikan, atas hasil perjuangan mama  - mama, dengan bantuan modal Rp.600.000.000, dalam bentuk pinjaman dari Koperasi mama – mama pedagang asli Papua, mama – mama tidak mampu mengembalikan, karena mengalami kerugian selama satu tahun berjalan. Pasar Sementara, menjadi tanggung jawab siapa, tidak jelas. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota saling lempar tanggung jawab. Listrik, Air Bersih, Pengelolaan Sampah, WC, KACAU!!!!, tidak diatur.

Dengan kondisi kekerasan ekonomi terhadap Perempuan Papua semakin meningkat, mama – mama pedagang asli Papua yang bergabung dengan koalisi untuk STOP SUDAH! Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak di Papua, menyatakan sikap :
  1. Menuntut segera dibangun pasar Permanen khusus pedagang asli Papua.
  2. Menuntut dan Mendesak pemerintah untuk tidak menggusur mama - mama penjual pinang yang berada di Jl.Irian sampai dibangun pasar permanen. 
  3. Menuntut untuk segera di tutup dan relokasi pedagang yang ada di Pasar Mesran.
  4. Mendesak Pemerintah untuk tidak diadakan Pasar Murah di kota Jayapura.
  5. Mendesak Pemerintah mengambil tindakan dengan tegas untuk tidak ada lagi pedagang yang menjual sayur,ikan mentah menggunakan kendaraan bermotor.
  6. Mendesak Pemerintah untuk melarang para kaum pemilik modal yang mempunyai Mall, untuk tidak lagi menjual hasil bumi dari tanah ini.
  7. Mendesak Pemerintah untuk melarang pedagang Non – Papua menjual pinang dan sagu mentah di Papua.
  8. Mendesak Pemerintah untuk tidak lagi membangun mall dan ruko di kota Jayapura.
  9. Mendesak Pemerintah untuk segera dibangun pasar khusus pedagang asli Papua di setiap kabupaten di Papua.
Demikian sikap mama – mama pedagang asli Papua, hal ini kami buat untuk Rakyat Papua asli memiliki kedaulatan ekonomi di tanah ini, bukan menjadi pemilik pemodal lagi.

Port Numbay, 25 November 2011
Mama – mama pedagang asli Papua yang menyatakan sikap
Kelompok Pedagang Sayur                                         Kelompok Pedagang Buah

        Yuliana Pigai                                                                      Maria Tabuni
Kelompok Pedagang Bumbu                              Kelompok Pedagang Sagu Mentah

      Esterfinah Antoh                                                               Selfiana Wondiwoi
Kelompok Pedagang Pinang                                   Kelompok Pedagang Ikan Asar

      Kathrina Tekege                                                                    Yusthea Waromi
Kelompok Pedagang Ikan Mentah                           Kelompok Pedagang Roti Bakar

        Yokbet Yowei                                                                           Anne Imbiri
Kelompok Pedagang Kelapa Parut                       Kelompok Pedagang Ayam Potong

    Pitersina Makamur                                                                       Yohana Yumame

Kelompok Pedagang Makanan Jadi                   Kelompok Pedagang Pinang,Jl.Irian

Miryam Awarawi                                                                               Martina Sawen